Oleh :
Dr Suardi Mansing (Komisioner KPU Gowa Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas, dan SDM
Gowa, Sabtu 06-07-2024
Sebagian masyarakat pada umumnya, bahkan mungkin mayoritas masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara kolektif adalah petugas pemilihan yang bentuk oleh negara dengan tugas hanya sekedar penyiar berita seputar pemilihan, kemudian mengurus pencalonan, kampanye hingga pencoblosan dan menghitung suara calon.
Gambaran sederhananya, KPU masih dipandang semacam panitia yang khusus dibentuk oleh negara untuk mengurusi pemilihan sehingga ketika pemilihan selesai, banyak yang bertanya: apa kerja KPU?.
Anggapan keliru dan pertanyaan seperti itu, hanya satu atau sebagian kecil dari sekian banyaknya anggapan “sesat” yang sudah tentu keliru dan banyak berseliweran ditengah-tengah masyarakat. Anggapan dan pertanyaan yang muncul sejak berpuluh-puluh tahun lamanya itu yang hari ini masih menjadi tantangan bagi KPU untuk meluruskannya.
Hal tersebut menjadi semacam redusi dibalik upaya keras KPU hari ini yang menginginkan KPU bertransformasi menjadi institut modern, baik dalam hal tata kelola organisasi secara intern maupun dalam hal layanan publik.
Diskrepansi antara harapan dan upaya dengan kondisi faktual di lapangan tersebut, tidak hanya menimbulkan disparitas antara KPU sebagai lembaga layanan publik dengan masyarakat, tetapi juga menjadi partikel-partikel negatif bagi KPU yang justru jika tidak segera diselesaikan maka lambat laun akan membentuk barikade terhadap kemajuan KPU sebagai lembaga modern yang selalu konteks dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dilayaninya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, KPU harus segera bertindak karena kenyataan bahwa hari ini, pemilih muda yang merupakan generasi digital telah mendominasi peta pemilih Indonesia karena telah melebihi angka 50% dan bisa jadi lima tahun kedepan, angkanya telah ada dikisaran 60-70%.
Melihat realita itu, maka hal yang paling utama yang dapat dilakukan KPU adalah dengan mengaktifasi divisi sosialisasi pendidikan pemilih (Sosdiklih).
Divisi yang sesungguhnya memiliki kewenangan dan ruang besar untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pertanyaan-penyataan besar ditengah-tengah masyarakat sekaitan dengan keberadaan dan kinerja KPU agar tidak lagi terjadi misleading karena maraknya misinformasi terkait KPU.
Contoh sederhananya, KPU seringkali disalahkan karena tidak menindak pelanggaran-pelanggaran yang menurut masyarakat terjadi saat pemilu 2024 yang lalu, seperti kampanye terselebung dihari tenang atau bagi-bagi barang saat kampanye oleh calon. Mendengar keluhan itu saja, masyarakat sudah tentu keliru karena hal tersebut bukanlah kewenangan dari KPU.
Masalah-masalah demikian apakah murni karena faktor masyarakat?, tentu tidak. Mengapa? karena masyarakat dari perspektif KPU selama ini hanya menjadi objek dalam proses transfer informasi ketika KPU menyelenggarakan kegiatan sosialisasi ditengah-tengah masyarakat dan itu pun materi yang disampaikan lebih mengarah pada ajakan memilih sehingga masyarakat cenderung pasif.
Hal tersebut yang harus mulai diubah saat ini, paradigma divisi sosdiklih harus bergeser dari memandang masyarakat sebagai objek informasi menjadi subjek informasi agar masyarakat benar-benar terlibat aktif berpartisipasi dalam seluruh rangkaian kegiatan atau tahapan pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU.
Paradigma baru tersebut sesungguhnya hanya upaya penyelarasan yang dilakukan oleh KPU terhadap nomenklatur tata kerja organisasinya yang memang sejak lama telah membetuk divisi yang disebut sosdiklih, salah satu divisi yang diharapkan bukan hanya sekadar penyiar berita atau penyampai informasi, namun lebih dari itu, divisi tersebut diharapkan mampu menjalankan kegiatan pendidikan pemilih ditengah-tengah masyarakat.
Outputnya, seluruh misinformasi ditengah-tengah masyarakat akan diluruskan sendiri oleh masyarakat yang lain dan inputnya bagi KPU, jelas hal tersebut akan meningkatkan indeks partisipasi masyarakat dan kehidupan demokrasi Indonesia yang akan semakin berkualitas.
Untuk mewujudkan itu, dalam rangka pendidikan pemilih, maka KPU harus banyak bertindak sebagai konselor ketimbang hadir sebagai penyuluh demokrasi dimasyarakat karena dengan menjadi konselor, maka berarti KPU tidak hanya sekedar membangkitkan pemahaman demokrasi masyarakat tetapi juga meluruskan pemahamannya terkait tata kerja KPU dan hal yang paling luar biasa dari kedua manfaat tersebut adalah karena KPU akan menjadi pencipta influencer demokrasi ditengah-tengah masyarakat yang akan bertugas menjadi suluh bagi awam disekitarnya. Olehnya karena itu, semangat menjadikan KPU sebagai organ modern bukanlah utopis belaka melainkan lahir karena ide, rencana, strategi, dan hari ini telah banyak diimplentasikan, salah satunya melalui cafe demokrasi yang dirancang tidak hanya bagi masyarakat kota melainkan hingga kepelosok penyedia warung kopi.
Pada akhirnya, cafe demokrasi dan kegiatan serupa lainnya diharap menjadi penyintas KPU ditengah-tengah upaya pelemahan terhadap kinerja KPU yang telah bersusah paya dalam menyelenggarakan pemilihan yang berkualitas, jangankan tantangan geografis dan bencana alam, bahkan telah banyak disaksikan jutaan mata masyarakat hingga dunia, bagaimana petugas KPU di tingkat bawah bertaruh nyawa demi kesuksesan pemilihan karena meyakini bahwa apapun yang dilakukan sebagai implementasi sumpah jabatan dan pakta integritasnya adalah bagian dari pengabdiannya kepada bangsa dan negara untuk masa depan bersama yang lebih baik.(*)
Catatan: Ditulis disela-sela pelaksanaan kegiatan cafe demokrasi di 18 Kecamatan se-Kabupaten Gowa.